Jumat, 20 Oktober 2017

ANTIHISTAMIN



ANTIHISTAMIN
Antihistamin dalam dosis terapi, efektif untuk mengobati edema, eritem dan pruritus, tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1). Setelah tahun 1972 ditemukan kelompok antihistamin baru yang dapat menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin ini digolongkan sebagai antihistamin penghambat reseptor H2 (AH2). Kedua jenis antihistamin ini bekerja secara kompetitif yaitu dengan menghambat interaksi histamin dan reseptor histamin H1 atau H2. Setelah itu, terdapat banyak usaha untuk menemukan obat baru yang mampu menghambat kedua reseptor dengan berbagai kekuatan dan spesifitasnya. Antara lain pada bronkus dan usus, tetapi menyebabkan relaksasi kuat pada otot polos pembuluh darah kecil, sehingga permeabilitasnya meningkat dan timbul pruritus. Selain itu,histamin merupakan perangsang kuat sekresi asam lambung dan kelenjar eksokrin lainnya misalnya kelenjar mukosa saluran nafas. Akibat vasodilatasi pada pembuluh darah kecil maka timbul kemerahan dan rasa panas di daerah wajah, resistensi perifer menurun sehingga tekanan darah menurun (hipotensi). Permeabilitas kapilar meningkat sehingga protein dan cairan plasma keluar ke ruangan ekstraselular dan menimbulkan edema. Efek bronkokonstriksi dan kontraksi usus karena histamin dapat dihambat oleh AH1. Efek histamine terhadap sekresi asam lambung dapat dihambat olehAH2, misalnya simetidin dan ranitidin. AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan. Secara klinis alergi terdapat pada penyakit rinitis alergika, urtikaria dan angioedema.

·         Macam-macam obat antihistamin

Sejak histamin ditemukan sebagai suatu zat kimia yang mempengaruhi banyak proses faali dan
patologik dalam tubuh, maka dicari obat yang dapat melawan khasiat histamin. Epinefrin merupakan antagonis faali yang pertama kali digunakan, efeknya lebih cepat dan lebih efektif daripada AH1.

·         Cara kerja obat antihistamin
Histamin sudah lama dikenal karena merupakan mediator utama timbulnya peradangan dan gejala alergi. Mekanisme kerja obat antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi berlangsung melalui kompetisi dengan menghambat histamin berikatan dengan reseptor H1 atau H2 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan memunculkan lebih banyak reseptor H1. Reseptor yang baru tersebut akan diisi oleh antihistamin. Peristiwa molekular ini akan mencegah untuk sementara timbulnya reaksi alergi. Reseptor H1 diketahui terdapat di otak, retina, medula adrenal, hati, sel endotel, pembuluh darah otak, limfosit, otot polos saluran nafas, saluran cerna, saluran genitourinarius dan jaringan vaskular. Reseptor H2 terdapat di saluran cerna dan dalam jantung. Sedangkan reseptor H3 terdapat di korteks serebri dan otot polos bronkus. Di kulit juga terdapat reseptor H3 yang merupakan autoreseptor, mengatur pelepasan dan sintesis histamin. Namun, peranan dalam menimbulkan gatal dan inflamasi masih belum jelas.

Antihistamin generasi pertama
Sejak tahun 1937-1972, ditemukan beratus-ratus antihistamin dan digunakan dalam terapi,namun khasiatnya tidak banyak berbeda. AH1 ini dalam dosis terapi efektif untuk menghilangkan bersin, rinore, gatal pada mata, hidung dan tenggorokan pada seasonal hay fever, tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. AH1 efektif untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada urtikaria kronik hasilnya kurang baik. Mekanisme kerja antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi berlangsung melalui kompetisi dalam berikatan dengan reseptor H1 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan memunculkan lebih banyak reseptor H1. Antihistamin tersebut digolongkan dalam antihistamin generasi pertama. Untuk pedoman terapi,penggolongan AH1 dengan lama kerja. Antihistamin generasi pertama ini mudah didapat, baik sebagai obat tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan obat dekongestan,misalnya untuk pengobatan influensa. Kelas ini mencakup klorfeniramine, difenhidramine, prometazin, hidroksisin dan lain-lain. Pada umumnya obat antihistamin generasi pertama ini mempunyai efektifitas yang serupa bila digunakan menurut dosis yang dianjurkan dan dapat dibedakan satu sama lain menurut gambaran efek sampingnya. Namun, efek yang tidak diinginkan obat ini adalah menimbulkan rasa mengantuk sehingga mengganggu aktifitas dalam pekerjaan,harus berhati-hati waktu mengendarai kendaraan,mengemudikan pesawat terbang dan mengoperasikan mesin-mesin berat. Efek sedative ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi pertama ini memiliki sifat lipofilik yang dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat menempel pada reseptor H1 di sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang menempel pada reseptor H1 sel otak, kewaspadaan menurun dan timbul rasa mengantuk. Selain itu, efek sedative diperberat pada pemakaian alkohol dan obat antidepresan misalnya minor tranquillisers. Karena itu, pengguna obat ini harus berhati-hati. Di samping itu, beberapa antihistamin mempunyai efek samping antikolinergik seperti mulut menjadi kering, dilatasi pupil, penglihatan berkabut, retensi urin, konstipasi dan impotensia.

Antihistamin generasi kedua
Setelah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru yang dapat menghambat sekresi asam lambung akibat histamin yaitu burinamid, metilamid dan simetidin. Ternyata antihistamin generasi kedua ini memberi harapan untuk pengobatan ulkus peptikum, gastritis atau duodenitis. Antihistamin generasi kedua mempunyai efektifitas antialergi seperti generasi pertama, memiliki sifat lipofilik yang lebih rendah sulit menembus sawar darah otak. Reseptor H1 sel otak tetap diisi histamin, sehingga efek samping yang ditimbulkan agak kurang tanpa efek mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat baik, dapat diberikan dengan dosis yang tinggi untuk meringankan gejala alergi sepanjang hari, terutama untuk penderita alergi yang tergantung pada musim. Obat ini juga dapat dipakai untuk pengobatan jangka panjang pada penyakit kronis seperti urtikaria dan asma bronkial. Peranan histamin pada asma masih belum sepenuhnya diketahui. Pada dosis yang dapat mencegah bronkokonstriksi karena histamin, antihistamin dapat meredakan gejala ringan asma kronik dan gejala-gejala akibat menghirup alergen pada penderita dengan hiperreaktif bronkus. Namun, pada umumnya mempunyai efek terbatas dan terutama untuk reaksi cepat dibanding dengan reaksi lambat, sehingga antihistamin generasi kedua diragukan untuk terapi asma kronik. Yang digolongkan dalam antihistamin generasi kedua yaitu terfenadin, astemizol, loratadin dan cetirizin. Terfenadin diperkenalkan di Eropa pada tahun 1981 dan merupakan antihistamin pertama yang tidak mempunyai efek sedasi dan diijinkan beredar di Amerika Serikat pada tahun 1985. Namun, pada tahun 1986 pada keadaan tertentu dilaporkan terjadinya aritmia ventrikel, gangguan ritme jantung yang berbahaya, dapat menyebabkan pingsan dan kematian mendadak. Beberapa faktor seperti hipokalemia,hipomagnesemia, bradikardia, sirosis atau kelainan hati lainnya atau pemberian bersamaan dengan juice anggur, antibiotika makrolid (misalnya eritromisin), obat anti jamur (misalnya itraconazole atau ketoconazole) berbahaya karena dapat memperpanjang interval QT. Pada tahun 1997 FDA menarik terfenadin dari pasaran karena telah ditemukannya obat sejenis dan lebih aman.

·         Astemizol (Hismanal )
Merupakan antihistamin kedua yang tidak menyebabkan sedasi diperbolehkan beredar di Amerika Serikat (Desember 1988). Obat ini secara cepat dan sempurna diabsorpsi setelah pemberian secara oral, tetapi astemizol dan metabolitnya sangat banyak distribusinya dan mengalami metabolism sangat lambat. Namun, karena kasus aritmia jantung dan kematian mendadak telah diamati setelah penggunaan astemizol pada keadaan yang serupa dengan terfenadin, maka pada astemizole diberikan tanda peringatan dalam kotak hitam.

·         Loratadin (Claritin )
 Mempunyai farmakokinetik serupa dengan terfenadin, dalam hal mulai bekerjanya dan lamanya. Seperti halnya terfenadin dan astemizol, obat ini mula-mula mengalami metabolisme menjadi metabolit aktif deskarboetoksi loratadin (DCL) dan selanjutnya mengalami metabolisme lebih lanjut. Loratadin ditoleransi dengan baik, tanpa efek sedasi, serta tidak mempunyai efek terhadap susunan saraf pusat dan tidak pernah dilaporkan terjadinya kematian mendadak sejak obat ini diperbolehkan beredar pada tahun 1993.

·         Cetirizin (Ryzen )
Adalah metabolit karboksilat dari antihistamin generasi pertama hidroksizin, diperkenalkan sebagai antihistamin yang tidak mempunyai efek sedasi. (dipasarkan pada Desember 1995). Obat ini tidak mengalami metabolisme, mulai kerjanya lebih cepat dari pada obat yang sejenis dan lebih efektif dalam pengobatan urtikaria kronik. Efeknya antara lain menghambat fungsi eosinofil, menghambat pelepasan histamin dan prostaglandin D2. Cetirizin tidak menyebabkan aritmia jantung, namun mempunyai sedikit efek sedasi sehingga bila dibandingkan dengan terfenadin, astemizol dan loratadin obat ini lebih rendah.

·         Antihistamin generasi ketiga
Yang termasuk antihistamin generasi ketiga yaitu feksofenadin, norastemizole dan deskarboetoksi loratadin (DCL), ketiganya adalah merupakan metabolit antihistamin generasi kedua. Tujuan mengembangkan antihistamin generasi ketiga adalah untuk menyederhanakan farmakokinetik dan metabolismenya, serta menghindari efek samping yang berkaitan dengan obat sebelumnya.

·         Feksofenadin (Telfast ®)
Merupakan metabolit karboksilat dari antihistamin generasi kedua terfenadin dan diijinkan untuk dipasarkan oleh FDA pada Juli 1996. Setelah diketahui bahwa feksofenadin tidak berpengaruh buruk terhadap elektrofisiologi jantung dan mempunyai efektivitas sama seperti terfenadin maka feksofenadin menggantikan terfenadin dan telah dipasarkan di Indonesia dengan nama dagang Telfast ( di Amerika : Allegra ®). Sifat-sifat kimia feksofenadin adalah : secara oral cepat diabsorpsi, hanya sekitar 5% mengalami metabolisme, sisanya diekskresi dalam urin dan feses tanpa mengalami perubahan. Hasil ini tidak dipengaruhi oleh adanya gangguan pada fungsi hati atau ginjal. Pada penderita usia lanjut atau penderita dengan gangguan fungsi ginjal,kadar feksofenadine dalam plasma darah dapat meningkat 2 kali dari pada normal. Namun hal ini tidak perlu dikhawatirkan, karena indeks terapi obat ini relatif tinggi. Feksofenadin tidak berpengaruh pada interval QT pada percobaan binatang atau pada manusia yang diberi 10 kali lipat dosis standar 60 mg 2 kali sehari. Feksofenadin tidak menembus sawar darah otak sehingga tidak mempunyai efek samping terhadap susunan saraf pusat. Penelitian yang dilakukan oleh Meltzer dkk. pada 826 penderita rinitis allergika kronik karena musim, dari usia 12 hingga 65 tahun dengan pemberian feksofenadin 60 mg ternyata dapat meningkatkan kualitas hidup, tidak mengganggu aktifitas dan produksi kerja. Penggunaan antihistamin untuk penderita lanjut usia harus mempertimbangkan berbagai kemungkinan interaksi obat serta kondisi organ tubuh yang biasanya telah mengalami penurunan. Feksofenadin merupakan antihistamin nonsedatif, yang sama dengan terfenadin tetapi tidak bersifat kardiotoksik. Pada penderita penyakit hati tidak diperlukan penyesuaian dosis, demikian juga untuk penderita gangguan fungsi ginjal dosis yang dianjurkan adalah dosis tunggal 60 mg/ hari.

·         Norastemizole
Mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan astemizole, dan menurut McCullogh dkk norastemizole menghambat reseptor H1 13 sampai 16 kali lebih kuat. Pada percobaan dengan binatang, konstriksi bronkus akibat histamin juga dihambat 20 sampai 40 kali lebih kuat dibanding astemizole. Mulai kerja norastemizole lebih cepat disbanding astemizole. Norastemizole tidak mengalami metabolisme, diekskresi dalam urin dalam bentuk tidak berubah, waktu paruh plasma sekitar satu minggu, jadi setengah dari pada waktu paruh astemizole. Dalam percobaan pada tikus, obat ini tidak menaikkan berat badan. Terhadap jantung,pengaruhnya relatif lebih aman meskipun dalam kombinasi dengan obat lainnya, tidak meningkatkan interval QT setelah pemberian per os dengan dosis tunggal 100 mg.(15) Obat ini belum dipasarkan di Indonesia.

·         DCL
(diproduksi oleh Schering Plough)lebih kuat dari pada loratadin terhadap reseptor H1. Juga diketahui bahwa obat ini menghambatreseptor muskarinik M1 dan M3 sehingga meningkatkan efek dalam pengobatan asma bronkiale. DCL mula kerjanya sedikit lebih lambat dan mempunyai waktu paruh dalam plasma lebih panjang dibandingkan dengan loratadine. Dalam percobaan binatang dengan dosis yang tinggi ternyata tidak berpengaruh terhadap interval QT dan denyut jantung meskipun dengan dosis sampai 100 mg/ kg BB. Pada kombinasi dengan eritromisin, kadar DCL dalam plasma sedikit menurun.

·         Turunan Etilediamin






N (X) : atom penghubung
Rantai 2 atom C : penghubung gugus diaril inti dengan gugus amino tersier

·         Tururnan Fenotiazin



 

 


Pemasukan gugus halogen atau C pada posisi 2 dan perpanjangan atom C rantai samping akan meningkatkan aktivitas tranquilizer dan menurunkan efek antihistamin


·         Turunan Kolamin



 


 

1.      Pemasukan gugus Cl, Br, dan OCH3 pada posisi para cincin aromatik juga meningkatkan aktivitas dan menurunkan efek samping .
2.      Pemasuka gugs CH3 pada posisi para cincin aromatik meningkatkan aktivitas. Pada posisi orto menghilangkan efek antagonis H1 dan meningkatkan aktivitas antikolinergik.
3.      Memiliki aktivitas antikolinergik karena mempunyai struktur mirip dengan eter aminoalkohol (senyawa pemblok kolinergik).


PERTANYAAN:
1.      Sebutkan salah satu pergolongan antihistamin (AH1),massa kerja dan bentuk sediaannya.
2.      Jelaskan efek samping Antihistamin.
3.      Apa hubungan sruktur dan aktivitas antagonis H1.
4.      Sebutkan bagian turunan dari antagonis H1.
5.      Sebutkan turunan antagonis H1 generasi kedua.
6.      Sebutkan hubungan dan sruktur aktifitas antagonis H2.

DAFTAR PUSTAKA
Black JW, Duncan WA, Durant CJ, Ganellin CR, Parsons EM. Definition and antagonism of histamine H2 receptors. Nature 1972; 236: 385-90.
Ganiswara SG. Farmakologi dan Terapi edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI; 1995.
White M. Mediators of inflammation and the inflammatory process. J Allergy Clin Immunol 1999; 103: S378-81.
Kaliner MA. Clinical use of H1 antihistamines in elderly patients; considerations in a polypharmaceutic patient population. Clinical Geriartric 1997; 5: 75-90.
 Nathan R. Urticaria and Angioedema. Medical Progress 2000; 27: 24-8.
 Simons FER, Simons KJ. The pharmacology and use of H1 - receptor - antagonist drugs. New EnglJ Med 1994; 330: 1663-70.
Handley DA, Magnetti A, Higgins A.J.Therapeutic advantages of third generation antihistamines. Exp Opin Invest Drugs 1998;7: 1045-54.
Woosley RL. Cardiac actions of antihistamines. Ann Rev Pharmacol Toxicol. 1996; 36: 233-52.
Hey JA, Del Prado M, Cuss FM. Antihistamine activity, central nervous system and cardiovascular profiles of histamine H1 antagonists; comparative studies with oratadine, terfenadine and sedating antihistamines in guinea pigs. Clin Exp Allergy 1995; 25: 974-84.
Brannan MD, Reidenberg P, Radwanaski E. Loratadine administered concomitantly with erythromycin. Pharmacokinetic and 129 electrocardiographic evaluations. Clin Pharmacol Ther 1995; 58: 269-78.
Andri L, Senna GE, Betteli C. A comparison of the efficacy of cetirizine and terfenadine. A double blind controlled study of chronic idiopathic urticaria. Allergy 1993; 48: 358-65.
McCullough JR, Butler HT, Fang KQ and Handley DA. Receptor binding properties of astemizole and its metabolite norastemizole. Ann Allergy Asthma Immunol 1997; 78: 144.
Meltzer EO, Casale TB, Nathan RA, Thompson AK Once daily fexofenadine HCl improves quality of life and reduces work and activity impairment in patients with seasonal allergic rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol 1999; 83:311-7.
Rao N, Weilert D, Grave M, Eller M, Weir S. Pharmacokinetics of terfenadine acid metabolite, MDL 16,455 in healthy geriatric subjects. Pharm Res 1995; 12: 386.15. Handley DA, McCullough JR, Fang KQ, Wright SE, Smith ER. Comparative antihistamine effects of astemizole and a metabolite, norastemizole. Ann Allergy Asthma Immunol 1997; 78: 144.